Performance Branding; Sonno Tattoo Bunker café on 25 July 2008; at 8.00pm
Tanda Yang Terabaikan = Body warming
( Surat untuk sahabatku, Sonno Tattoo )
( Surat untuk sahabatku, Sonno Tattoo )
Diawali, Malam belumlah larut benar, diskusi ringan yang terjadi dengan dua botol bir di trotoar malioboro. Menggiring sepeda-sepeda sahabat untuk sejenak meringkas kegundahan, yang barangkali masih bertemu besok dengan rasa sakit, sekian kalinya tubuh-tubuh sahabat yang tak pernah‘ bertemu’kembali mengalami perjumpaan yang terkadang, bahasa itu tidak harus dengan kata-kata, melainkan hasrat terdalam seorang manusia.
Pembicaraan malam itu membuatku birahi, padahal kepalaku masih dipenuhi gambar satu benda yang yang empat jam lalu cukup membuatku asing. Semacam plat/tembaga yang berbentuk bunga terong dengan delapan sisi ujungnya dan bergagang kayu, tidak lebih seperti pengaduk bahan adonan roti. Benda ini mengingatkanku pada sebuah alat cap yang biasa digunakan untuk menandai seekor hewan sebagai simbol otoritas kepemilikan, dengan cara memanaskan sampai pada tingkat tertentu kemudian ditempelkan pada kulit hewan tersebut dan meninggalkan semacam luka terbakar berwarna merah dengan sedikit timbul, maka sah bahwa tubuh hewan itu adalah milik si polan, si locar, si onos atau yang lainnya, tentu saja terbayang akan melewati rasa sakit yang sedemikiannya. Akhirnya, sahabatku sonno, engkau akan melakukan proses itu; ‘Branding’, dengan hasrat terdalammu. Aku percaya, sakit itu akan menggenapi segala rangkaian peristiwamu dari sebelumnya dan menghimpun seluruh energi pada alam semesta dan akan terpusat hanya pada satu, tangan pencipta nafas kehidupanmu menebarkan kekuasaannya, atas gunung, laut, angin, tanah, pepohonan, hewan, tubuh-tubuh dan daging tubuhmu, dan itu adalah kekuatan yang dahsyat yang bersumber dari penciptamu. Kukira, semua isi alam semesta mempunyai kekuatan itu meski pada tingkat yang berbeda-beda. Sejenak kutinggalkan sahabatku sonno. Menurut penuturanmu atau dengan sedikit pengetahuanku, proses ini sudah dilakukan oleh nenek moyang selain ritual tradisi tattoo sejak ribuan tahun silam, dan bahkan untuk di belahan lain di dunia ini masih berkembang atau bahkan memang di jaga kelestariannya, entah pada personal atau kelompok masyarakat tertentu dengan segala aneka ragam variasi, desain makna motif, besar kecil, atau waktu pada proses ritual penciptaannya. Barangkali, untuk di Indonesia atau Yogyakarta belumlah banyak yang melakukan proses ini. Gambar bunga terong dan lengkungan semacam tribal tepat ditengahnya, dari yang kutahu pemaknaanya lebih pada keseimbangan, ketenangan, harmoni pada delapan penjuru mata angin, kukira. Timbul dalam hatiku, atas desakan apa yang mendorongmu untuk melakukan proses ritual ini sahabatku?; baiklah, aku tidak akan menanyakannya lebih jauh sahabatku, namun kuhargai sepenuh hatiku rasa personalmu. Sekali lagi kata kuncinya adalah hasrat energi terdalam; Satu puisi kuhadiahkan baca untukmu nanti.
MUSIM PANAS TUHAN
Energi biru, energi biru, energi biru, energi biru. Dagingpanas, logam adonan, dagingdingin. Kulit kulit berguguran, angin malu pada air. Hasratku penuh satu. Kedalaman hati mereka mendoa, mendoa, mendoa. Nafasmu delapan penjuru mata angin. Energi biru, energi biru, energi biru, energi biru.
……………………………………………………..Peluk hangat dan Sang pencipta dalam hasratmu. Salam yoyo jewe dan Creamus Poems
Pembicaraan malam itu membuatku birahi, padahal kepalaku masih dipenuhi gambar satu benda yang yang empat jam lalu cukup membuatku asing. Semacam plat/tembaga yang berbentuk bunga terong dengan delapan sisi ujungnya dan bergagang kayu, tidak lebih seperti pengaduk bahan adonan roti. Benda ini mengingatkanku pada sebuah alat cap yang biasa digunakan untuk menandai seekor hewan sebagai simbol otoritas kepemilikan, dengan cara memanaskan sampai pada tingkat tertentu kemudian ditempelkan pada kulit hewan tersebut dan meninggalkan semacam luka terbakar berwarna merah dengan sedikit timbul, maka sah bahwa tubuh hewan itu adalah milik si polan, si locar, si onos atau yang lainnya, tentu saja terbayang akan melewati rasa sakit yang sedemikiannya. Akhirnya, sahabatku sonno, engkau akan melakukan proses itu; ‘Branding’, dengan hasrat terdalammu. Aku percaya, sakit itu akan menggenapi segala rangkaian peristiwamu dari sebelumnya dan menghimpun seluruh energi pada alam semesta dan akan terpusat hanya pada satu, tangan pencipta nafas kehidupanmu menebarkan kekuasaannya, atas gunung, laut, angin, tanah, pepohonan, hewan, tubuh-tubuh dan daging tubuhmu, dan itu adalah kekuatan yang dahsyat yang bersumber dari penciptamu. Kukira, semua isi alam semesta mempunyai kekuatan itu meski pada tingkat yang berbeda-beda. Sejenak kutinggalkan sahabatku sonno. Menurut penuturanmu atau dengan sedikit pengetahuanku, proses ini sudah dilakukan oleh nenek moyang selain ritual tradisi tattoo sejak ribuan tahun silam, dan bahkan untuk di belahan lain di dunia ini masih berkembang atau bahkan memang di jaga kelestariannya, entah pada personal atau kelompok masyarakat tertentu dengan segala aneka ragam variasi, desain makna motif, besar kecil, atau waktu pada proses ritual penciptaannya. Barangkali, untuk di Indonesia atau Yogyakarta belumlah banyak yang melakukan proses ini. Gambar bunga terong dan lengkungan semacam tribal tepat ditengahnya, dari yang kutahu pemaknaanya lebih pada keseimbangan, ketenangan, harmoni pada delapan penjuru mata angin, kukira. Timbul dalam hatiku, atas desakan apa yang mendorongmu untuk melakukan proses ritual ini sahabatku?; baiklah, aku tidak akan menanyakannya lebih jauh sahabatku, namun kuhargai sepenuh hatiku rasa personalmu. Sekali lagi kata kuncinya adalah hasrat energi terdalam; Satu puisi kuhadiahkan baca untukmu nanti.
MUSIM PANAS TUHAN
Energi biru, energi biru, energi biru, energi biru. Dagingpanas, logam adonan, dagingdingin. Kulit kulit berguguran, angin malu pada air. Hasratku penuh satu. Kedalaman hati mereka mendoa, mendoa, mendoa. Nafasmu delapan penjuru mata angin. Energi biru, energi biru, energi biru, energi biru.
……………………………………………………..Peluk hangat dan Sang pencipta dalam hasratmu. Salam yoyo jewe dan Creamus Poems
Tidak ada komentar:
Posting Komentar