Selasa, 29 Juli 2008

Perjalanan jarum dan benang ; Serendipity’ halaman belakang.

Begitu menakjubkan persinggahan yang terencana cepat. Setelah malam di kedai kandang sapi atau tempat lain yang sedikitnya disebut kandang babi. Yogyakarta bagian utara. Ada kabar yang menggiring tiga sepeda untuk menuju kota sejarah, Bandung. Keputusan cepat, sepeda tak mandi, pakaian tak ganti, kepala malas di kunci di lemari. Dingin jarum dan benang sudah terbeli oleh tangan – tangan sahabat. Jarum besi berantai asap dan satu kamar toilet mulai melakukan peristiwanya oleh tiga sepeda tanpa label. Kereta kahuripan. Kemarau dingin mencium kemarau hangat. Sepeda Yogyakarta mencumbu halaman Bandung. Malam merayu untuk menggeser tempat duduk pagi, tiga anak kecil bermain sirene dan udara pagi di kepala jarum besi. Lokomotif. Saatnya tiba di halaman kota, adalah stasiun Kiara Condong. Roda sepeda mencium penuh ketidaktahuan, tidak ada teknik mengulum yang hebat, saling bertukar lidah dan airnya, apalagi ukuran – ukuran bibir sensual. segalanya lebih mengenali bagian – bagian sejarah yang sudah tersusun ratusan tahun lalu. Hasrat. Hasrat yang hangat, kukira itu saja. Pagi itu menyapa halaman depan kota itu, adalah bagian besi yang sudah sekian terangkai, STSI tepat di jalan buah batu, nama yang terdengar indah. Banyak sapaan yang terduga dan tak disangka, pertemuan yang mencoba utuh. Ketiga tubuh sepeda dan anak kecilnya sudah tersenyum, hari itu kalender maya menyebutkan siang 26 juli 2008, pada pertengahan. Siang itu akan beranjak menuju kota atas, barangkali sepeda akan sedikit tegak berdiri dan mengendarai dengan kemiringan 45 derajat, cukup menguras otot – otot untuk bangun dari mimpinya. Sebelumnya, kusiapkan waktu untuk mendoa ’ pertukaran darahku ’ dari masa sebelumnya. Qlaroscura, selalu kubiarkan tubuhku memeluk dan pelukan hangatmu, sampai semesta menyelesaikan kelebat selimutnya dan musim salju akan mengenali nafas ayah - ayahnya. Maaf agak terpenggal, sekarang kembali. Perhelatan yang sedang disiapkan pada Tika Lika Gallery dan sedianya Creamus Poems akan menggeliat di malam itu, namun juga belum terketahui apa yang bakalan berlangsung disana, yang disiapkan hanya hasrat, jarum, benang dan bekal di saku dalam, dari peristiwa - peristiwa sebelumnya. Kami cemas dan tidak. Adalah hari dimana pemanasan sudah terlewati, mengenali sudut posisi nyaman, tersesat, mencoba tanya apa yang disuka nyaman, membisikan gairah di telinga, mencium kecil – kecil bagian sudut – sudut tubuh, dengan mesra dan hangat tentunya. Perempatan jalan, pertigaan, jalan searah, jembatan layang, rumah panas, halaman padat, pagar congkak, pintu ramah, pasar suara asing, susunan perkakas di rak kotak megapolitan yang berlebihan. Tiga anak kecil sudah tiba di halaman jalan Bungur 37 - Tika Lika Gallery, lukisan – lukisan perupa berdelapan sedang disiapkan menuju tiang gantungan, kursi – kursi kehormatan mendiami juga. Keramahan sahabat – sahabat mengantar penghilang dahaga, Aduy, Mukti – Mukti, Fery Curtis, Hary Pochang, Candra, Ary Juliant, Siska dan semua menu penghilang dahaga yang menyimpan di benak kepalaku. Rasanya ingin menangis menyebutkan ataupun tidak penghilang – penghilang dahaga ini. Semua peristiwa berikut sekat – sekat cerita yang terkadang mengering di tenggorokan. Tepat di angka delapan pada penunjuk jarum jam, dua gulungan benang, dua jarum, tiga tubuh, menyibak keramaian perhelatan itu, sejenak berpasang - pasang mata menelanjangi, kukira aku kurang tahu apa yang di baliknya, kukira sapaan hangat, itu sudah lebih dari cukup. Maka perhelatan itu dibuka dan dilanjutkan dengan sapaan – sapaan yang lebih hangat, dengan suara tawa dan gelas – gelas. Sudah dari awalnya, akan ada kesudahan, dan sapaan hangat berakhir pada pergelangan tangan. Sepeda meluncur ke bawah dengan kemiringan 45 derajat dengan posisi terbalik dari sebelumnya, hanya sedikit menyiapkan tuas rem tangan, rem kaki, rem sandal, rem blong, rem waspada, rem, rem. Cerita yang berbeda menyusun sayap – sayapnya. Kesenyapan bangunan, lampu yang patuh pada petugasnya, sekian – sekian yang tertidur di tempat persembunyiaanya, bahkan kami melewati keasingan adalah pasar daging yang di jajakan oleh pembeli yang akan datang, aku kurang tahu siapa juragan di dalamnya, penjual atau pembeli, yang jelas ada teknik mencium, mengulum dengan geliat yang sudah cukup terlatih dan membuatnya puas, untuk sementara waktu. Dari kedalamanku menangis untuk kalian.

Halaman belakang, serendipity. Semesta menyusun dengan sedemikian sempurna dan menakjubkan. Sepeda meluncur tak begitu cepat namun cukup mengingatkan bahwa perut tak rela jika tak ikut serta dalam perjalanan ini. Jalanan lengang daerah Cihampelas, yang begitu terkenal dengan segala atribut – atribut plastiknya, namun perut kami bukan dari plastik melainkan daging biasa, maka mufakat jatuh pada lelaki penjual nasi goreng keliling dengan lampu mati pada gerobaknya. Makanan setengah pedas, lampu tiba – tiba menyala, asap perapian kembali bersendawa. Di kejauhan, tiga anak kecil lainnya, menuju makanan setengah pedas yang sudah terlanjur di pesan, kukira habis, karena kasihan kalau mereka tak kebagian. Tiga nasi goreng telah bertemu dengan tiga nasi goreng lainnya. Piring Betsy, piring Sonno , piring Dian, Piring Jewe, piring Pury, piring Danto. Ada juga dua piring lain, sayang mereka meninggalkan sebelum pesanan datang. Perbincangan demi percakapan, cahaya dan lampu langit mengambil gambar – gambar piring – piring itu. Demikian mesra, demikian hangat, demikian – demikian tak terucapkan oleh mulutku. Tak ada pertengkaran beda usia, status tubuh, material pagar, atau lainnya. Hanya nafas yang bercengkerama. Piring – piring yang hangat dan mempesona. Kuingat, bibir piring Dian mengutarakan ’Serendipity’ untuk malam yang sudah digariskan semesta malam itu. Terima kasih, Dian. Bermacam – macam hewan yang menemani piring itu, Tikus, Gajah, Rusa, burung malam, Semut, Rusa tak jadi, Gajah terkejut, Tikus mati gaya. Kepolosan. Larut pada permainan dalam lingkaran tawa dan ketulusan. Betsy, kau ingin semesta mengambil gambarmu dengan sepeda ya? Kukira itu menyenangkan. Wajah kami sudah jadi bubur bayi oleh tawa yang tak berkesudahan. Masih dibenakku juga, lesung pipit oleh luka masa lalu itu, yang kutahu menyimpan senyum menakjubkan, meski seandainya tak memakai kerudung, tetap saja indah. Sepeda hijau masih bersandar usai betsy menciumnya. Bahkan Pury, menciumnya lama – lama, beberapa puluh meter di jalan yang melawan jarum jam, tidak perlu teknik terlatih untuk peristiwa ini, sekali lagi kukira. Sonno, Danto, Jewe kian menjadi ketiga anak kecil yang bahagia. Baiklah, semesta ingin menyudahi penandanya, jalanan semakin meluncur kebawah, melewati sudut – sudut kota yang sebelumnya tak sempat terjamah. Perbincangan serendipity menjadi semacam kado yang tak terlupakan, semoga. Akhirnya, sejenak menyapa hujan sebentar di STSI dan Kahuripan sudah melambaikan kedua tangannya. Kami membalasnya dan sudah terjerembab di sudut gang kaki panjang tiga kursi yang disediakan. Sahabatku Danto, aku hanya ingin menggodamu saja, untuk kehangatan. Satu kata saja, Go brave...; kukira semesta akan mengirimkan ’kertas yang lenyap’ itu kembali, dan semakin dekat, dekat, dekat. Bukankah begitu serendipity? ; coba ciumlah maka akan terasa hangat. Selimut semesta sudah dekat, sahabatku. Selamat. Perjalanan akan menuju ke timur Pulau Jawa. Salam

Tidak ada komentar:

Templates by Blog Forum